“ Biarkan ALLAH SWT
yang memberikan jalan yang lurus yang mesti aku tempuh,karena rahmat dan
ridho-Nya lah yang akan menuntun jalanku menuju tempat yang indah . Hanya ALLAH
satu-satunya dzat yang sebaik-baik memilihkan tempat
“ .
***
Kuning cahaya matahari menembus kelopak
mataku , berkas sinarnya memaksa untuk membuka gerbang bola mataku yang bulat.
“ srreeeeeekkk” , bunyi dari gorden yang dibuka oleh Ibu tambah membuat bising
telingaku yang berlobang kecil..
“ Aisyah ! , bangun sayang . Bantu Ibu
membersihkan rumah... “ , senyum ibu terpancar dari sudut bibirnya yang mungil.
“ Huaaaaahhhhh, iya bu ..” , aku membalas
senyum manis sang ibu.
***
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh J
Afwan
, namaku Aisyah . Lebih lengkapnya Siti Aisyah , seperti nama kekasih
Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Aku terlahir dengan tiga bersaudara . Kami
bertiga semuanya adalah perempuan . Aku adalah anak kedua , kakakku namanya Nur
dan adikku Nisa. Ayahku adalah seorang wiraswasta dan ibuku seorang ibu rumah
tangga. Namun , meskipun kami hidup dengan penuh kesederhanaan kami tetap hidup
bahagia dengan canda tawa dan penuh dengan qana’ah.
***
“ Kriiiiiiing,kriiiiing,kriiiiiiing !!!” ,
suara sepeda kak Nur berkumandang di
telinga.
“Dek, ayo berangkat...” , teriak kakak
mengajakku pergi sekolah.
Aku
yang berseragamkan baju putih biru , berlari menghampiri kakak dengan jilbab
putih panjangku yang melayang-layang ditiup angin .
“ Assalamu’alaikum ayah, ibu ! . Daaaahh
Nisa sayang “ , ucapku kepada ayah dan ibu sambil menyalimi dan mengecup kening
adik tersayangku . Tiga insan yang sangat berarti di hidupku itu.
“ Wa’alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh , hati-hati di jalan ya anak-anak ! “ ,
Senyum ayah dan ibu menghiasi wajah mereka .
“Daaaahh kakak !” , teriak si mungil sambil
melambai tangan.
Aku dibonceng oleh kakakku yang cantik dan ku
sayagi . Kakak yang sebentar lagi akan naik tingkat ke Sekolah Menengah Atas . Deru
angin membuat rambut kakak yang terurai , menggelitik wajahku yang tersenyum
manis melihat anugerah kecantikan kakak yang diberikan Allah.
Kami
bercanda tawa sepanjang jalan , kakak yang lucu membuatku tertawa geli
karenanya. Apalagi adikku Nisa yang berumur empat tahun , yang selalu tertawa
jika kakak mengajaknya bercanda.
***
“Ayaaaahh ! “ , kupeluk tubuh kekar ayah
yang melambangkan kerja kerasnya untuk menghidupi kami.
“Anak ayah sudah pulang ! “ , Ayah membalas
pelukanku dengan penuh kasih sayang dari seorang Ayah. Aku yang sangat manja
kepada Ayah selalu memasang ekspresi manisku untuk menghiburnya yang capek
bekerja setiap hari . Adikku Nisa yang lucu segera kupeluk dengan erat. Aku
sangat menyayangi Nisa adik kecilku .
“Kakak, ayo kita menggambar!” , Nisa yang
suka menggambar memintaku untuk menemaninya manggambar.
Hidup kami begitu bahagia , kami yang hidup
sederhana dapat melewati hari-hari dengan penuh canda tawa. Susah senang selalu
kami hadapi bersama. Kami sangat beruntung mempunyai Ayah dan Ibu yang sangat
kasih kepada kami. Cinta mereka sangat besar tercurah kepada kami . Mereka rela
mengorbankan apapun demi aku, kakak , dan adik. Aku sangat bangga punya orang
tua seperti mereka , disetiap doaku selalu memintakan maaf atas perbuatan
mereka yang salah kepada Allah yang maha kuasa.
Hidup memang penuh dengan perjuangan . Ayah
mempunyai keinginan untuk merubah hidup kami . Ia merasa bersalah karena nafkah
yang diberikannya hanya sebatas kesederhanaan dan ingin mencoba mengubah hidup
kami menjadi lebih meningkat. Sekarang, Ayah bekerja sebagai seorang pekerja
yang sering pergi ke luar kota. Karena pekerjaannya itu, kami jadi jarang
bertemu dan Ayah menjadi berubah jauh dari yang biasanya.
“Ayaaaaaaaaahhh !!! “ , aku berlari ke arah
pintu hendak memeluk Ayah yang baru saja pulang dari luar kota setelah beberapa
minggu. Ayah terlihat sangat capek , dan sedihnya Ayah tidak merespon aku yang
berlari menjenguknya karena rindu yang tak tertahankan.
“Ayah capek , Ayah mau istirahat” , kata
Ayah kepadaku.
Aku
memang merasa kecewa dengan reaksi Ayah , aku berpikir mungkin Ayah capek jadi
lupa untuk menyapaku dengan hangat.
Malam kian menanti , adzan maghrib akan
segara dikumandangkan. Aku melihat ayah sedang duduk di kursi sambil memegang
handphone. Akhir-akhir ini memang aku sering melihat Ayah memegang handphone
sambil menelpon seseorang.
“Ayah , ayo kita sholat maghrib “ , aku
menyapa Ayah dengan senyuman.
“Kalian sholat sendiri saja ya Aisyah” ,
jawab Ayah kepadaku. Ayah yang biasanya selalu sholat berjamaah, malah menyuruh
kami sholat munfarid. Aku bertanya kepada Ibu mengapa Ayah begitu berubah .
Tapi Ibu hanya menjawab mungkin Ayah capek dan aku hanya bisa menanggapi dengan
cara yang positif.
Semakin lama perubahan Ayah semakin terasa.
Ayah jarang sekali melaksanakan sholat yang merupakan tujuan Allah SWT
menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Hari-hari yang berlalu kami
lewati dengan kemurungan seiring dengan perubahan Ayah yang tak disangka.
Hingga tiba waktunya Ayah harus bekerja dan meninggalkan kami lagi.
“Hati-hati Ayah , beritahu kami tentang
kabar Ayah disana” , Ibu berpesan seraya mencium tangan Ayah sambil menggendong
Nisa .
“Ayah cepat pulang , kami hanya bertiga
disini” , kak Nur menimbali dengan suara yang lirih.
“Ayah harus banyak-banyak berdoa kepada
Allah , biar banyak dapat rezeki “
“ Iya , kalian jaga diri baik-baik “, kata
Ayah dan segera bergegas meninggalkan rumah .
***
Hari-hari kian berlalu. Hidup seakan
dikejar waktu yang tak kunjung kemana lagi arah jarumnya akan berdetak. Sejak
kepergian Ayah yang terakhir , Ayah hanya menyisakan uang yang merupakan hasil
kerja kerasnya. Semakin lama kabar Ayah sudah tidak karuan , dimana arah Ayah
pergi kami tak tahu. Kak Nur yang baru saja naik tingakat ke bangku SMA
membutuhkan biaya yang sangat besar untuk keperluan sekolahnya. Namun Ayah tak
pernah lagi mengirim uang untuk menafkahi hidup kami yang disini. Aku tak tahu
mengapa bisa seperti itu. Adik mungilku Nisa sangat merindukan kepulangan Ayah
. Dia hanya bisa merengek dan membuat Ibu menjadi bingung menghadapinya hingga
Ibu jatuh sakit.
“Nisa, nanti Ayah pulang . Nisa jangan
nangis lagi ya..” , Ibu berusaha menghibur adik. Kak Nur yang sering membuat
Dek Nisa tertawa kini tak bisa berbuat apa-apa. Karena aku muak melihat semua
ini , aku berusaha menyusul Ayah yang tak tahu kemana arahnya. Aku mencoba
mencari informasi tentang keberadaan Ayah dari teman-temannya. Bayangkan saja ,
aku yang hanya sebatas anak SMP nekat mencari Ayah dan membawanya pulang demi
keluargaku yang menanti kehadirannya.
Jilbab panjangku yang setia menemaniku
kemanapun aku pergi, melayang-layang ditiup angin sepoi-sepoi yang mengiringi
pencarianku. Luar kota yang bising, membuat sakit telingaku. Aku berjalan
kesana kemari mencari Ayah dengan panduan dari informasi yang diberikan oleh
teman Ayah. Aku bertanya kesana kemari sambil membawa alamat yang diberikan
oleh arang yang tahu keberadaan Ayah.
Ternyata usaha kerasku tidaklah sia-sia, meskipun kaki bagaikan telah keriting
akibat perjalanan yang jauh tapi kini aku menemukan tempat keberadaan Ayah.
Alangkah terkejutnya aku ketika melihat rumah yang kucari begitu mewah dan
megah.
“Subhanallah...,benarkah Ayah tinggal
disini selama ini ? . Ayah kerja apa ya dirumah ini? Apa Ayah seorang pembantu?
Kalau memang iya , sungguh besar pengorbanan Ayah untuk kami..” , hati kecilku
terharu melihat semua ini.
“Assalamu’alaikum...” , aku menyapa satpam
yang menjaga rumah megah itu. Aku bertanya kepadanya. Semua yang diketahui
satpam tentang penghuni rumah itu diceritakannya semua. Aku sangat tekejut lalu
terjatuh lemas mendengar semuanya, ternyata pemilik rumah itu adalah seorang
janda yang baru saja menikah.
“Pemilik rumah ini adalah seorang janda
yang baru saja menikah mbak...” ,kata satpam itu bercerita kepadaku.
“Seorang janda pak? Baru menikah?”
“Iya mbak , nama suaminya Fulan..” ,
Kleetteeeeeeeeeeeerrrr!!!
Halilintar terasa menyengatku, membawaku ke alam gelap gulita. Sontak aku
terjatuh lemah. Satpam itu khawatir melihat responku yang seperti itu. Hatiku
hancur apa yang akan ku katakan kepada keluargaku? ternyata Ayah sudah menikah
dengan wanita janda kaya raya. Aku langsung pulang sambil menangis sedih ternyata
Ayah telah menghianati Ibu. Aku memberitahu keluargaku tentang semua ini.
Mereka sangat sedih. Senyum manis di wajah mereka telah memudar ,penuh dengan
kegelapan.
Sudah sebulan berlalu dari kejadian itu,
kami lewati hari-hari yang penuh dengan air mata. Kak Nur , yang baru saja SMA
semakin berubah. Entahlah apa karena ia kecewa dengan kehidupan kami yang
seperti ini hingga dia lebih sering keluar jalan-jalan untuk menghiasi hidup
yang indah baginya yang tiada arti. Ibu sering sakit-sakitan , dek Nisa yang
merengek sepanjang hari minta bertemu dengan Ayah. Membuat luka yang kuderita
semakin dalam. Aku yang hanya anak kelas satu SMP harus mengurus mereka semua.
Ibu yang sedang sakit, adik yang menangis hingga demam, kakak yang sealu pulang
dan pergi sesuka hati saja dari rumah. Kak Nur sangat berubah. Ia yang dulunya
rajin membantu Ibu mengerjakan pekerjaan dapur bersamaku kini sudah hilang
kepribadiannya yang dahulunya mendarah daging.
“Anak-anak , Ibu akan bekerja. Kita tidak
mungkin berlarut-larut dalam keadaan seperti ini...” , pernyataan Ibu hampir
membuatku tersedak saat hendak menelan sesuap nasi yang berdamping dengan
semangkuk kecil sambal terasi, menu makan kami hari ini.
“Ayah tidak lagi menafkahi kita, ia sudah
lupa dengan kita. Istrinya yang kaya telah membuatnya lupa kepada kita.
Astaghfirullah...” , lanjut Ibu dengan suara yang gemetar menahan tangis di
hadapan kami dan Nisa yang mungil dan polos.
“Ibu mau kerja dimana? Siapa yang akan
mengurus Adek-adek?” , kakak langsung menyahut. Kakak tidak ingin menghabiskan
waktunya untuk menjaga kami. Dia hanya ingin berkecimpung dalam dunianya.
“Ibu mau kerja sebagai TKI ke Malaysia untuk
memenuhi kebutuhan kita hidup..”
“Tapi Ibu, jangan tinggalkan kami...biarlah
kita hidup seadanya saja...” , aku menangis sambil memeluk adikku Nisa yang tak
tahu apa-apa dengan apa yang terjadi.
***
Nafas terengah-engah kesana kemari , bagai
kapas yang terbang melayang di udara dan tak tahu dimana arah jatuhnya. Insan
yang sangat kami cintai, Ibu sudah berangkat ke negeri Jiran , yang terkenal
dengan kekerasan terhadap TKI. Hari-hari kujalani dengan penuh kesibukan. Tiada
waktu untuk bermain lagi bagiku. Aku bagai peri tanpa sayap. Hanya ibadah yang
menyejukkan hatiku, hanya dengan mengingat Allah aku bisa bertahan hidup
seperti ini. Kerjaku hanya mengurus kakak dan adik, sedangkan kakak sendiri
makin menjadi-jadi dengan kehidupannya yang tak ada arti. Kakak hanya bisa
jalan-jalan , bersuka ria dengan teman-temannya. Sedangkan aku mengurus makan,
mencuci, menyetrika, mengasuh Nisa, dan semuanya ku kerjakan sendirian, hanya
sendiri. Setiap hari aku memohon kepada Allah agar Ayah sadar dan kembali
seperti dulu. Sungguh , Ayah dan ibu masih sah suami istri, mereka belum
bercerai. Ayah lupa akan tanggung jawabnya untuk menafkahi kami. Aku hanya bisa
meratapi nasib, Ibu yang disana apakah baik-baik saja aku tak tahu. Ayah
sedikitpun tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan kami, sungguh kejam
Ayah kepada kami. Aku sudah memeberitahunya waktu sebelum Ibu pergi, tapi Ayah
tak sedikitpun bersimpati untuk menjenguk kami anak-anaknya yang terlantar
karenanya.
“Kak Aisy...” , Nisa yang biasanya
memanggil Ibu ketika bangun tidur, kini harus berganti bunyi memanggilku.
“Ia dek manis...” , mataku mulai memerah
lagi melihat wajah adik yang baru berumur 4 tahun sudah merasakan
pahitnya hidup.
“Kakak, mana Ayah dan Ibu? Mereka tak sayang Nisa...” , Adik
mengeluarkan suara nya yang mengharukan. Nisa menangis tiada henti menyebut
Ayah dan Ibu. Aku hanya bisa berpasrah kepada Allah, dan meminta ridho-Nya.
***
Desiran angin , guguran daun yang
berserakan tak mungkin lagi kembali ke asalnya. Karena kesempatan yang kedua
tak sebagus kesempatan yang pertama. Setahun berlalu bagai angin sepoi-sepoi.
Penderitaan yang ku alami terasa ringan karena aku menyerahkan semuanya kepada
sang Khaliq.
“srrrreeeeeeeeekkkk!” , bunyi daun terinjak
oleh kaki seseorang yang hendak menghampiri rumah. Aku memicingkan mata sambil
melihat ke arahnya.
“Ibuuuu !”, teriak si kecil kegirangan
melihat kedatangan Ibu tercinta. Jilbab panjang yang selalu menutupi lekuk
tubuhnya melayang-layang diterpa angin.
“Anak Ibu sudah semakin besar!” , Ibu
memeluk kami dengan hangat. Ku lihat senyumnya yang manis yang berberapa tahun
terakhir sangat sulit ku dapatkan.
Kami jalani hidup seadanya sampai sekarang
ini, tapi tak semudah itu untuk hidup dengan biasa-biasa saja. Banyak halangan
dan rintangan yang menerpa. Ibu jatuh sakit.. . Aku semakin bingung, kakak
hanya mementingkan kepentingnnya untuk berhura-hura, padahal kakak sudah tamat
SMA sejak dua tahun yang lalu. Semakin lama ibu tambah sakit, dek Nisa pun yang
sekarang berumur enam tahun pun ikut sakit. Aku bekerja menyusuri jalan menjual
koran, mencucikan piring di rumah makan yang satu ke rumah makan lainnya,
mengambil upahan cuci pakaian , dan segala yang mungkin bisa ku kerjakan semua
ini demi mengobati Ibu dan adik dan mencukupi kebutuhan hidup kami. Tiada lain
harapan dariku, hanya ingin mereka sembuh. Aku memohon doa kepada Allah, aku
tahu hanya pada-Nya semua bermuara. Pasti akan ada hikmah di balik semua ini.
Ternyata keadaan yang seperti ini telah
membuat kakak tersadar. Ia kembali ke jalan lurus yang di sediakan Allah sejak
lama untuknya. Kakak jadi rajin sholat, menemaniku mengurus rumah, Ibu, adik ,
dan segalanya bahkan kakak sudah menggunakan jilbab yang semakin membuat anggun
wajahnya. Akhirnya Ibu dan adik sembuh. Kami bisa bercanda tawa bersama
kembali. Aku sangat terharu dengan kehidupan kami yang telah ada skenarionya di
tangan Yang Maha Kuasa.
Sampai detik ini pun Ayah tak pernah
memperlihatkan batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul Ayah
untuk meminta pertanggung jawaban atas nafkah yang tak pernah diberikannya
kepada kami. Ayah adalah seorang pengusaha yang kaya raya yang lupa kepada
keluarga yang diterlantarkannya. Dia hanya memperhatikan istri keduanya, tanpa
menoleh lagi ke Ibu yang sederhana. Ia mempunyai banyak pesaing yang
membencinya karena iri akan kesuksesan yang Ayah peroleh.
Aku sudah bercerita kepada satpam rumah itu
siapa aku sebenarnya, entah apa yang membuat satpam itu sangat percaya kepada
aku dan semua yang ku ceritakan. Aku menitipkan pesan kepadanya untuk Ayah
bahwa aku menunggunya di taman dekat rumah. Ku dengar sayup-sayup langkah kaki
yang menghampiriku,
“Aaa...aa...aisyah.. ?” , Ayah hendak
merangkulku, aku tersenyum kepadanya. Tak dapat kupungkiri bahwa aku sangat
merindukan sesosok Ayah yang tak kunjung datang itu. Tapi rasa marahku tak bisa
hilang mengingat apa yang dilakukan Ayah sejak tiga tahun yang lalu, hingga
sekarang aku akan naik ke tingkat SMA.
“Maafkan Ayah nak, ayah menyesal melakukan
semua ini.. .Ayah baru tahu kalau selama ini wanita itu memperbudak Ayah... .
Ayah sungguh menyesal.. “ , pernyataan Ayah yang demikian membuatku menjatuhkan
air mata dengan deras menganak sungai. Aku tak bisa apa-apa , inilah
keadaannya. Jilbabku yang panjang dibasahi air mataku.
“Mengapa Ayah meninggalkan kami , Ayah tahu
bagaimana perjuangan kami untuk memenuhi kebutuhan hidup? Mengapa Ayah
melepaskan tanggung jawab Ayah sebagai seorang Ayah begitu saja? . Tapi
sudahlah... , apa boleh buat. Apa yang terjadi biarlah berlalu. Aku memaafkan
Ayah. Allah saja mengampuni hamba-Nya mengapa Aisyah tidak ? “, aku melontarkan senyumku yang
telah lama tak ku berikan padanya. Ayah memelukku dengan erat. Ayah terlihat
sangat menyesali apa yang di perbuatannya selama ini. Dari kejahuan kulihat
sebuah motor yang berlari kencang dikendarai oleh dua orang yang mengenakan
helm. Semakin dekat, motor itu semakin kencang jalannya menuju ke arah kami
yang berdiri di pinggir jalan. Terlihat seorang yang dibelakang orang yang
menyetir mengacungkan sebuah pistol ke arah punggung Ayah dari belakang, aku
langsung menukar posisi punggung Ayah menjadi punggungku dan...
“Awas Ayaaaaaaaaahhhhhhh!!!” , teriakanku
mengalahkan suara motor yang bising itu.
“Ttoooooooorrrrrrr!!!” , suara pistol itu
terngiang di telingaku. Pelurunya menembus kulit dan jilbab putih panjang
kesayanganku.
“ALLAHU AKBAR!!!”, aku berteriak menahan
sakit yang kurasakan saat peluru menembus kulitku. Ayah tersontak kaget dan tak
mengerti apa yang terjadi.
“Aiiisssyaaaahh!”, Ayah berteriak melihat
tangannya yang sedang memelukku berlumuran darah. Ia berteriak sejadi-jadinya
melihat aku yang perlahan tergelincir dari pelukannya.
“TOOOLOOOONG!!!,TOLOOONG!,Ya Allah
,selamatkan anakku... sabar nak, Ayah akan membawamu ke rumah sakit” , kata
Ayah kepadaku. Aku tersenyum kepada Ayah sambil menahankan sakit yang tak
tertahankan. Pelaku yang menembak berlari sejauh mungkin untuk menghilangkan
jejak.
***
Aku membuka mataku perlahan. Dimana aku?
Dinding yang berlapiskan cat putih, suara yang berisik dari luar, dan bau
obat-obatan yng menyengat, tak asing lagi bagiku. Tempat ini sering kudatangi
ketika meminta resep dari dokter untuk obat Ibu dan adik dahulu. Ternyata
sedari tadi aku tak tersadar. Mulut dan hidungku ditutupi oleh oksigen yang
membantu aku yang tak kuasa untuk bernafas. Aku mengernyitkan dahi sambil
melihat sekelilingku, aku dikerumuni.
“Kakkaaak!” , terdengar si kecil Nisa
memanggilku.
“Aisyah, kamu sudah sadar nak?” , suara Ibu
juga terdengar jelas.
“Adek, maafkan kakak... kakak yang salah”, Jilbab
kakak yang basah membuat jilbabnya yang semula berwarna biru muda menjadi biru
tua.
“Ayo lekas sembuh dek, keluarga kita sudah
kembali seperti dahulu lagi...” , mereka menangis terisak-isak. Aku hanya
tersenyum. Aku tak bisa berkata sepatahpun.
“kreeeekk”, bunyi pintu yang menandakan
datangnya seseorang. Ternyata itu Ayah. Baju dan tangan Ayah berlumuran dengan
darah merah segar karena menggendongku ketempat ini. Matanya merah karena
menangis sepanjang jalan. Ayah sangat merasa bersalah padaku, tapi aku hanya
tersenyum dan tersenyum. Karena aku tahu semua ini takdir dari Allah SWT.
“Maafkan Ayah nak... , Ayah sungguh
bertaubat kepada Allah...” , isak tangis mereka kembali berkumandang. Air
mataku jatuh berlinangan menyusuri lekuk pelipis mataku. Tak lama kemudian,
mereka kembali senyap dan tersenyum kepadaku. Aku melihat keikhlasan di wajah
mereka untuk melepas kepergian ku. Ku lirik pada tubuh dan kepalaku yang masih menggunakan jilbab putih panjang
kesayanganku yang berlumuran darah. Aku melihat seakan pintu yang sedang menungguku
telah terbuka lebar dengan berkas sinar cahayanya yang menyejukkan hati. Aku
mempersembahkan senyuman terakhirku kepada mereka yang kucintai. Selamat
tinggal Ayah, Ibu, Kak Nur, dan adik kecilku Nisa... Semoga kalian bahagia dan
kita akan bertemu kembali dengan takdir dari Allah.
Aku menutup bola mataku secara perahan,
pandanganku terhadap mereka mulai meredup. Allahu Akbar ! , ku hembuskan nafas
terkhirku, dan ku biarkan wajahku yang terseyum di hadapan mereka, sebagai
persembahan terakhirku untuk mereka.
“ Biarkan ALLAH SWT
yang memberikan jalan yang lurus yang mesti aku tempuh,karena rahmat dan
ridho-Nya lah yang akan menuntun jalanku menuju tempat yang indah . Hanya ALLAH
satu-satunya dzat yang sebaik-baik memilihkan tempat J
“ .
SEKIAN
J
0 komentar:
Posting Komentar