Copyright © Anggun Pratiwi
Design by Dzignine
Jumat, 23 November 2012

Aku dan Takdir ALLAH ( Anggun Pratiwi )




“ Biarkan ALLAH SWT yang memberikan jalan yang lurus yang mesti aku tempuh,karena rahmat dan ridho-Nya lah yang akan menuntun jalanku menuju tempat yang indah . Hanya ALLAH satu-satunya dzat yang sebaik-baik memilihkan tempat  “ .
                                                                     ***
        Kuning cahaya matahari menembus kelopak mataku , berkas sinarnya memaksa untuk membuka gerbang bola mataku yang bulat. “ srreeeeeekkk” , bunyi dari gorden yang dibuka oleh Ibu tambah membuat bising telingaku yang berlobang kecil..
     “ Aisyah ! , bangun sayang . Bantu Ibu membersihkan rumah... “ , senyum ibu terpancar dari sudut bibirnya yang mungil.

     “ Huaaaaahhhhh, iya bu ..” , aku membalas senyum manis sang ibu.
                                                                     ***
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh J
Afwan , namaku Aisyah . Lebih lengkapnya Siti Aisyah , seperti nama kekasih Rasulullah Nabi Muhammad SAW. Aku terlahir dengan tiga bersaudara . Kami bertiga semuanya adalah perempuan . Aku adalah anak kedua , kakakku namanya Nur dan adikku Nisa. Ayahku adalah seorang wiraswasta dan ibuku seorang ibu rumah tangga. Namun , meskipun kami hidup dengan penuh kesederhanaan kami tetap hidup bahagia dengan canda tawa dan penuh dengan qana’ah.
                                                                     ***
     “ Kriiiiiiing,kriiiiing,kriiiiiiing !!!” , suara sepeda kak Nur  berkumandang di telinga.
     “Dek, ayo berangkat...” , teriak kakak mengajakku pergi sekolah.
Aku yang berseragamkan baju putih biru , berlari menghampiri kakak dengan jilbab putih panjangku yang melayang-layang ditiup angin .
     “ Assalamu’alaikum ayah, ibu ! . Daaaahh Nisa sayang “ , ucapku kepada ayah dan ibu sambil menyalimi dan mengecup kening adik tersayangku . Tiga insan yang sangat berarti di hidupku itu.
     “ Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh , hati-hati di jalan ya anak-anak ! “ ,
 Senyum ayah dan ibu menghiasi wajah mereka .
     “Daaaahh kakak !” , teriak si mungil sambil melambai tangan.
 Aku dibonceng oleh kakakku yang cantik dan ku sayagi . Kakak yang sebentar lagi akan naik tingkat ke Sekolah Menengah Atas . Deru angin membuat rambut kakak yang terurai , menggelitik wajahku yang tersenyum manis melihat anugerah kecantikan kakak yang diberikan Allah.
Kami bercanda tawa sepanjang jalan , kakak yang lucu membuatku tertawa geli karenanya. Apalagi adikku Nisa yang berumur empat tahun , yang selalu tertawa jika kakak mengajaknya bercanda.
                                                                         ***
     “Ayaaaahh ! “ , kupeluk tubuh kekar ayah yang melambangkan kerja kerasnya untuk menghidupi kami.
     “Anak ayah sudah pulang ! “ , Ayah membalas pelukanku dengan penuh kasih sayang dari seorang Ayah. Aku yang sangat manja kepada Ayah selalu memasang ekspresi manisku untuk menghiburnya yang capek bekerja setiap hari . Adikku Nisa yang lucu segera kupeluk dengan erat. Aku sangat menyayangi Nisa adik kecilku .
     “Kakak, ayo kita menggambar!” , Nisa yang suka menggambar memintaku untuk menemaninya manggambar.
     Hidup kami begitu bahagia , kami yang hidup sederhana dapat melewati hari-hari dengan penuh canda tawa. Susah senang selalu kami hadapi bersama. Kami sangat beruntung mempunyai Ayah dan Ibu yang sangat kasih kepada kami. Cinta mereka sangat besar tercurah kepada kami . Mereka rela mengorbankan apapun demi aku, kakak , dan adik. Aku sangat bangga punya orang tua seperti mereka , disetiap doaku selalu memintakan maaf atas perbuatan mereka yang salah kepada Allah yang maha kuasa.
     Hidup memang penuh dengan perjuangan . Ayah mempunyai keinginan untuk merubah hidup kami . Ia merasa bersalah karena nafkah yang diberikannya hanya sebatas kesederhanaan dan ingin mencoba mengubah hidup kami menjadi lebih meningkat. Sekarang, Ayah bekerja sebagai seorang pekerja yang sering pergi ke luar kota. Karena pekerjaannya itu, kami jadi jarang bertemu dan Ayah menjadi berubah jauh dari yang biasanya.
     “Ayaaaaaaaaahhh !!! “ , aku berlari ke arah pintu hendak memeluk Ayah yang baru saja pulang dari luar kota setelah beberapa minggu. Ayah terlihat sangat capek , dan sedihnya Ayah tidak merespon aku yang berlari menjenguknya karena rindu yang tak tertahankan.
     “Ayah capek , Ayah mau istirahat” , kata Ayah kepadaku.
Aku memang merasa kecewa dengan reaksi Ayah , aku berpikir mungkin Ayah capek jadi lupa untuk menyapaku dengan hangat.
     Malam kian menanti , adzan maghrib akan segara dikumandangkan. Aku melihat ayah sedang duduk di kursi sambil memegang handphone. Akhir-akhir ini memang aku sering melihat Ayah memegang handphone sambil menelpon seseorang.
     “Ayah , ayo kita sholat maghrib “ , aku menyapa Ayah dengan senyuman.
     “Kalian sholat sendiri saja ya Aisyah” , jawab Ayah kepadaku. Ayah yang biasanya selalu sholat berjamaah, malah menyuruh kami sholat munfarid. Aku bertanya kepada Ibu mengapa Ayah begitu berubah . Tapi Ibu hanya menjawab mungkin Ayah capek dan aku hanya bisa menanggapi dengan cara yang positif.
     Semakin lama perubahan Ayah semakin terasa. Ayah jarang sekali melaksanakan sholat yang merupakan tujuan Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Hari-hari yang berlalu kami lewati dengan kemurungan seiring dengan perubahan Ayah yang tak disangka. Hingga tiba waktunya Ayah harus bekerja dan meninggalkan kami lagi.
     “Hati-hati Ayah , beritahu kami tentang kabar Ayah disana” , Ibu berpesan seraya mencium tangan Ayah sambil menggendong Nisa .
     “Ayah cepat pulang , kami hanya bertiga disini” , kak Nur menimbali dengan suara yang lirih.
     “Ayah harus banyak-banyak berdoa kepada Allah , biar banyak dapat rezeki “
     “ Iya , kalian jaga diri baik-baik “, kata Ayah dan segera bergegas meninggalkan rumah .
                                                                         ***
     Hari-hari kian berlalu. Hidup seakan dikejar waktu yang tak kunjung kemana lagi arah jarumnya akan berdetak. Sejak kepergian Ayah yang terakhir , Ayah hanya menyisakan uang yang merupakan hasil kerja kerasnya. Semakin lama kabar Ayah sudah tidak karuan , dimana arah Ayah pergi kami tak tahu. Kak Nur yang baru saja naik tingakat ke bangku SMA membutuhkan biaya yang sangat besar untuk keperluan sekolahnya. Namun Ayah tak pernah lagi mengirim uang untuk menafkahi hidup kami yang disini. Aku tak tahu mengapa bisa seperti itu. Adik mungilku Nisa sangat merindukan kepulangan Ayah . Dia hanya bisa merengek dan membuat Ibu menjadi bingung menghadapinya hingga Ibu jatuh sakit.
     “Nisa, nanti Ayah pulang . Nisa jangan nangis lagi ya..” , Ibu berusaha menghibur adik. Kak Nur yang sering membuat Dek Nisa tertawa kini tak bisa berbuat apa-apa. Karena aku muak melihat semua ini , aku berusaha menyusul Ayah yang tak tahu kemana arahnya. Aku mencoba mencari informasi tentang keberadaan Ayah dari teman-temannya. Bayangkan saja , aku yang hanya sebatas anak SMP nekat mencari Ayah dan membawanya pulang demi keluargaku yang menanti kehadirannya.
     Jilbab panjangku yang setia menemaniku kemanapun aku pergi, melayang-layang ditiup angin sepoi-sepoi yang mengiringi pencarianku. Luar kota yang bising, membuat sakit telingaku. Aku berjalan kesana kemari mencari Ayah dengan panduan dari informasi yang diberikan oleh teman Ayah. Aku bertanya kesana kemari sambil membawa alamat yang diberikan oleh arang  yang tahu keberadaan Ayah. Ternyata usaha kerasku tidaklah sia-sia, meskipun kaki bagaikan telah keriting akibat perjalanan yang jauh tapi kini aku menemukan tempat keberadaan Ayah. Alangkah terkejutnya aku ketika melihat rumah yang kucari begitu mewah dan megah.
     “Subhanallah...,benarkah Ayah tinggal disini selama ini ? . Ayah kerja apa ya dirumah ini? Apa Ayah seorang pembantu? Kalau memang iya , sungguh besar pengorbanan Ayah untuk kami..” , hati kecilku terharu melihat semua ini.
     “Assalamu’alaikum...” , aku menyapa satpam yang menjaga rumah megah itu. Aku bertanya kepadanya. Semua yang diketahui satpam tentang penghuni rumah itu diceritakannya semua. Aku sangat tekejut lalu terjatuh lemas mendengar semuanya, ternyata pemilik rumah itu adalah seorang janda yang baru saja menikah.
     “Pemilik rumah ini adalah seorang janda yang baru saja menikah mbak...” ,kata satpam itu bercerita kepadaku.
     “Seorang janda pak? Baru menikah?”
     “Iya mbak , nama suaminya Fulan..” ,
Kleetteeeeeeeeeeeerrrr!!! Halilintar terasa menyengatku, membawaku ke alam gelap gulita. Sontak aku terjatuh lemah. Satpam itu khawatir melihat responku yang seperti itu. Hatiku hancur apa yang akan ku katakan kepada keluargaku? ternyata Ayah sudah menikah dengan wanita janda kaya raya. Aku langsung pulang sambil menangis sedih ternyata Ayah telah menghianati Ibu. Aku memberitahu keluargaku tentang semua ini. Mereka sangat sedih. Senyum manis di wajah mereka telah memudar ,penuh dengan kegelapan.
     Sudah sebulan berlalu dari kejadian itu, kami lewati hari-hari yang penuh dengan air mata. Kak Nur , yang baru saja SMA semakin berubah. Entahlah apa karena ia kecewa dengan kehidupan kami yang seperti ini hingga dia lebih sering keluar jalan-jalan untuk menghiasi hidup yang indah baginya yang tiada arti. Ibu sering sakit-sakitan , dek Nisa yang merengek sepanjang hari minta bertemu dengan Ayah. Membuat luka yang kuderita semakin dalam. Aku yang hanya anak kelas satu SMP harus mengurus mereka semua. Ibu yang sedang sakit, adik yang menangis hingga demam, kakak yang sealu pulang dan pergi sesuka hati saja dari rumah. Kak Nur sangat berubah. Ia yang dulunya rajin membantu Ibu mengerjakan pekerjaan dapur bersamaku kini sudah hilang kepribadiannya yang dahulunya mendarah daging.
     “Anak-anak , Ibu akan bekerja. Kita tidak mungkin berlarut-larut dalam keadaan seperti ini...” , pernyataan Ibu hampir membuatku tersedak saat hendak menelan sesuap nasi yang berdamping dengan semangkuk kecil sambal terasi, menu makan kami hari ini.
     “Ayah tidak lagi menafkahi kita, ia sudah lupa dengan kita. Istrinya yang kaya telah membuatnya lupa kepada kita. Astaghfirullah...” , lanjut Ibu dengan suara yang gemetar menahan tangis di hadapan kami dan Nisa yang mungil dan polos.
     “Ibu mau kerja dimana? Siapa yang akan mengurus Adek-adek?” , kakak langsung menyahut. Kakak tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menjaga kami. Dia hanya ingin berkecimpung dalam dunianya.
     “Ibu mau kerja sebagai TKI ke Malaysia untuk memenuhi kebutuhan kita hidup..”
     “Tapi Ibu, jangan tinggalkan kami...biarlah kita hidup seadanya saja...” , aku menangis sambil memeluk adikku Nisa yang tak tahu apa-apa dengan apa yang terjadi.
                                                                         ***
     Nafas terengah-engah kesana kemari , bagai kapas yang terbang melayang di udara dan tak tahu dimana arah jatuhnya. Insan yang sangat kami cintai, Ibu sudah berangkat ke negeri Jiran , yang terkenal dengan kekerasan terhadap TKI. Hari-hari kujalani dengan penuh kesibukan. Tiada waktu untuk bermain lagi bagiku. Aku bagai peri tanpa sayap. Hanya ibadah yang menyejukkan hatiku, hanya dengan mengingat Allah aku bisa bertahan hidup seperti ini. Kerjaku hanya mengurus kakak dan adik, sedangkan kakak sendiri makin menjadi-jadi dengan kehidupannya yang tak ada arti. Kakak hanya bisa jalan-jalan , bersuka ria dengan teman-temannya. Sedangkan aku mengurus makan, mencuci, menyetrika, mengasuh Nisa, dan semuanya ku kerjakan sendirian, hanya sendiri. Setiap hari aku memohon kepada Allah agar Ayah sadar dan kembali seperti dulu. Sungguh , Ayah dan ibu masih sah suami istri, mereka belum bercerai. Ayah lupa akan tanggung jawabnya untuk menafkahi kami. Aku hanya bisa meratapi nasib, Ibu yang disana apakah baik-baik saja aku tak tahu. Ayah sedikitpun tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan kami, sungguh kejam Ayah kepada kami. Aku sudah memeberitahunya waktu sebelum Ibu pergi, tapi Ayah tak sedikitpun bersimpati untuk menjenguk kami anak-anaknya yang terlantar karenanya.
     “Kak Aisy...” , Nisa yang biasanya memanggil Ibu ketika bangun tidur, kini harus berganti bunyi memanggilku.
     “Ia dek manis...” , mataku mulai memerah lagi melihat wajah adik yang baru berumur                   4 tahun sudah merasakan pahitnya hidup.
     “Kakak, mana Ayah dan Ibu?  Mereka tak sayang Nisa...” , Adik mengeluarkan suara nya yang mengharukan. Nisa menangis tiada henti menyebut Ayah dan Ibu. Aku hanya bisa berpasrah kepada Allah, dan meminta ridho-Nya.
                                                                         ***
     Desiran angin , guguran daun yang berserakan tak mungkin lagi kembali ke asalnya. Karena kesempatan yang kedua tak sebagus kesempatan yang pertama. Setahun berlalu bagai angin sepoi-sepoi. Penderitaan yang ku alami terasa ringan karena aku menyerahkan semuanya kepada sang Khaliq.
     “srrrreeeeeeeeekkkk!” , bunyi daun terinjak oleh kaki seseorang yang hendak menghampiri rumah. Aku memicingkan mata sambil melihat ke arahnya.
     “Ibuuuu !”, teriak si kecil kegirangan melihat kedatangan Ibu tercinta. Jilbab panjang yang selalu menutupi lekuk tubuhnya melayang-layang diterpa angin.
     “Anak Ibu sudah semakin besar!” , Ibu memeluk kami dengan hangat. Ku lihat senyumnya yang manis yang berberapa tahun terakhir sangat sulit ku dapatkan.
     Kami jalani hidup seadanya sampai sekarang ini, tapi tak semudah itu untuk hidup dengan biasa-biasa saja. Banyak halangan dan rintangan yang menerpa. Ibu jatuh sakit.. . Aku semakin bingung, kakak hanya mementingkan kepentingnnya untuk berhura-hura, padahal kakak sudah tamat SMA sejak dua tahun yang lalu. Semakin lama ibu tambah sakit, dek Nisa pun yang sekarang berumur enam tahun pun ikut sakit. Aku bekerja menyusuri jalan menjual koran, mencucikan piring di rumah makan yang satu ke rumah makan lainnya, mengambil upahan cuci pakaian , dan segala yang mungkin bisa ku kerjakan semua ini demi mengobati Ibu dan adik dan mencukupi kebutuhan hidup kami. Tiada lain harapan dariku, hanya ingin mereka sembuh. Aku memohon doa kepada Allah, aku tahu hanya pada-Nya semua bermuara. Pasti akan ada hikmah di balik semua ini.
     Ternyata keadaan yang seperti ini telah membuat kakak tersadar. Ia kembali ke jalan lurus yang di sediakan Allah sejak lama untuknya. Kakak jadi rajin sholat, menemaniku mengurus rumah, Ibu, adik , dan segalanya bahkan kakak sudah menggunakan jilbab yang semakin membuat anggun wajahnya. Akhirnya Ibu dan adik sembuh. Kami bisa bercanda tawa bersama kembali. Aku sangat terharu dengan kehidupan kami yang telah ada skenarionya di tangan Yang Maha Kuasa.
     Sampai detik ini pun Ayah tak pernah memperlihatkan batang hidungnya. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul Ayah untuk meminta pertanggung jawaban atas nafkah yang tak pernah diberikannya kepada kami. Ayah adalah seorang pengusaha yang kaya raya yang lupa kepada keluarga yang diterlantarkannya. Dia hanya memperhatikan istri keduanya, tanpa menoleh lagi ke Ibu yang sederhana. Ia mempunyai banyak pesaing yang membencinya karena iri akan kesuksesan yang Ayah peroleh.
     Aku sudah bercerita kepada satpam rumah itu siapa aku sebenarnya, entah apa yang membuat satpam itu sangat percaya kepada aku dan semua yang ku ceritakan. Aku menitipkan pesan kepadanya untuk Ayah bahwa aku menunggunya di taman dekat rumah. Ku dengar sayup-sayup langkah kaki yang menghampiriku,
     “Aaa...aa...aisyah.. ?” , Ayah hendak merangkulku, aku tersenyum kepadanya. Tak dapat kupungkiri bahwa aku sangat merindukan sesosok Ayah yang tak kunjung datang itu. Tapi rasa marahku tak bisa hilang mengingat apa yang dilakukan Ayah sejak tiga tahun yang lalu, hingga sekarang aku akan naik ke tingkat SMA.
     “Maafkan Ayah nak, ayah menyesal melakukan semua ini.. .Ayah baru tahu kalau selama ini wanita itu memperbudak Ayah... . Ayah sungguh menyesal.. “ , pernyataan Ayah yang demikian membuatku menjatuhkan air mata dengan deras menganak sungai. Aku tak bisa apa-apa , inilah keadaannya. Jilbabku yang panjang dibasahi air mataku.
     “Mengapa Ayah meninggalkan kami , Ayah tahu bagaimana perjuangan kami untuk memenuhi kebutuhan hidup? Mengapa Ayah melepaskan tanggung jawab Ayah sebagai seorang Ayah begitu saja? . Tapi sudahlah... , apa boleh buat. Apa yang terjadi biarlah berlalu. Aku memaafkan Ayah. Allah saja mengampuni hamba-Nya mengapa Aisyah      tidak ? “, aku melontarkan senyumku yang telah lama tak ku berikan padanya. Ayah memelukku dengan erat. Ayah terlihat sangat menyesali apa yang di perbuatannya selama ini. Dari kejahuan kulihat sebuah motor yang berlari kencang dikendarai oleh dua orang yang mengenakan helm. Semakin dekat, motor itu semakin kencang jalannya menuju ke arah kami yang berdiri di pinggir jalan. Terlihat seorang yang dibelakang orang yang menyetir mengacungkan sebuah pistol ke arah punggung Ayah dari belakang, aku langsung menukar posisi punggung Ayah menjadi punggungku dan...
     “Awas Ayaaaaaaaaahhhhhhh!!!” , teriakanku mengalahkan suara motor yang bising itu.   
     “Ttoooooooorrrrrrr!!!” , suara pistol itu terngiang di telingaku. Pelurunya menembus kulit dan jilbab putih panjang kesayanganku.
     “ALLAHU AKBAR!!!”, aku berteriak menahan sakit yang kurasakan saat peluru menembus kulitku. Ayah tersontak kaget dan tak mengerti apa yang terjadi.
     “Aiiisssyaaaahh!”, Ayah berteriak melihat tangannya yang sedang memelukku berlumuran darah. Ia berteriak sejadi-jadinya melihat aku yang perlahan tergelincir dari pelukannya.
     “TOOOLOOOONG!!!,TOLOOONG!,Ya Allah ,selamatkan anakku... sabar nak, Ayah akan membawamu ke rumah sakit” , kata Ayah kepadaku. Aku tersenyum kepada Ayah sambil menahankan sakit yang tak tertahankan. Pelaku yang menembak berlari sejauh mungkin untuk menghilangkan jejak.
                                                                         ***
     Aku membuka mataku perlahan. Dimana aku? Dinding yang berlapiskan cat putih, suara yang berisik dari luar, dan bau obat-obatan yng menyengat, tak asing lagi bagiku. Tempat ini sering kudatangi ketika meminta resep dari dokter untuk obat Ibu dan adik dahulu. Ternyata sedari tadi aku tak tersadar. Mulut dan hidungku ditutupi oleh oksigen yang membantu aku yang tak kuasa untuk bernafas. Aku mengernyitkan dahi sambil melihat sekelilingku, aku dikerumuni.
     “Kakkaaak!” , terdengar si kecil Nisa memanggilku.
     “Aisyah, kamu sudah sadar nak?” , suara Ibu juga terdengar jelas.
     “Adek, maafkan kakak... kakak yang salah”, Jilbab kakak yang basah membuat jilbabnya yang semula berwarna biru muda menjadi biru tua.
     “Ayo lekas sembuh dek, keluarga kita sudah kembali seperti dahulu lagi...” , mereka menangis terisak-isak. Aku hanya tersenyum. Aku tak bisa berkata sepatahpun.
     “kreeeekk”, bunyi pintu yang menandakan datangnya seseorang. Ternyata itu Ayah. Baju dan tangan Ayah berlumuran dengan darah merah segar karena menggendongku ketempat ini. Matanya merah karena menangis sepanjang jalan. Ayah sangat merasa bersalah padaku, tapi aku hanya tersenyum dan tersenyum. Karena aku tahu semua ini takdir dari Allah SWT.
     “Maafkan Ayah nak... , Ayah sungguh bertaubat kepada Allah...” , isak tangis mereka kembali berkumandang. Air mataku jatuh berlinangan menyusuri lekuk pelipis mataku. Tak lama kemudian, mereka kembali senyap dan tersenyum kepadaku. Aku melihat keikhlasan di wajah mereka untuk melepas kepergian ku. Ku lirik pada tubuh dan kepalaku yang  masih menggunakan jilbab putih panjang kesayanganku yang berlumuran darah. Aku melihat seakan pintu yang sedang menungguku telah terbuka lebar dengan berkas sinar cahayanya yang menyejukkan hati. Aku mempersembahkan senyuman terakhirku kepada mereka yang kucintai. Selamat tinggal Ayah, Ibu, Kak Nur, dan adik kecilku Nisa... Semoga kalian bahagia dan kita akan bertemu kembali dengan takdir dari Allah.
     Aku menutup bola mataku secara perahan, pandanganku terhadap mereka mulai meredup. Allahu Akbar ! , ku hembuskan nafas terkhirku, dan ku biarkan wajahku yang terseyum di hadapan mereka, sebagai persembahan terakhirku untuk mereka.
                                                                                                                          
“ Biarkan ALLAH SWT yang memberikan jalan yang lurus yang mesti aku tempuh,karena rahmat dan ridho-Nya lah yang akan menuntun jalanku menuju tempat yang indah . Hanya ALLAH satu-satunya dzat yang sebaik-baik memilihkan tempat J “ .

                                                            SEKIAN J

    

0 komentar:

Posting Komentar